Senin, 02 Maret 2015

0 Bangku Nomor 14




Deru angin itu perlahan membawa dedaunan kering terbang mengejar langkah-langkah Nadia yang berjalan bagaikan menari melewati taman indah itu. Senyumnya mengiringi tangannya berayun di antara daun-daun yang berjatuhan bagaikan hujan menyelimuti tubuhnya.
Wajah masam penyapu taman itupun tidak mengurangi keceriaannya saat melihat sesosok wanita dewasa yang duduk di bangku taman di kejauhan.
Wanita itu tersenyum kepadanya sambil melambai-lambai saat melihat kehadirannya. Nadia mempercepat langkahnya membuat tas slempangnya terus menari-nari di atas punggungnya.

“Hai kak Bunga” sapa gadis 17 tahun itu sambil tersenyum.

Wanita yang dipanggil kak Bunga itu tersenyum lalu menggeser duduknya di bangku itu.

“Sini duduk” katanya sambil merapihkan kacamatanya.

“Sudah lama kak ?” tanya Nadia sambil melemparkan tubuhnya ke bangku itu.

“Baru tiba juga” Bunga tersenyum, “eh.. jangan keras-keras.. bangku ini sudah tua, nanti rusak kalau dihempas tubuh kamu” ujarnya.

“Eh.. maaf kak, Nadia lupa bangku ini ada history tersendiri yah buat kakak kan, minggu lalu kakak belum selesai ceritanya loh “ seru Nadia sambil menghadap Bunga yang cuma tersenyum melihat keceriaannya itu.

“Iya… hari ini kamu mau dengar lanjutan ceritanya ?” tanya Bunga sambil merapihkan rambut panjangnya yang diterpa angin itu.

Nadia mengangguk-anggukan kepalanya dengan bersemangat. Dengan penasaran ia menatap wanita di depannya itu yang sebenarnya lebih cocok ia panggil tante, karena usianya sudah 45 tahun. Tetapi entah mengapa Bunga ini terlihat awet muda, cantik dan bersahabat sehingga Nadia merasa lebih cocok memanggilnya kakak.

“Kemaren kakak sudah cerita tentang teman SMA kakak yang bernama Bima, kakak diam-diam suka sama dia. Tetapi kakak orangnya pendiam dan selalu menutup diri. Trus kakak juga tidak bergaul dengan siapapun juga di sekolah waktu itu selalu menyendiri, kenapa sih kak ? Padahal kakak kan cantik sekali loh, apa kakak tidak menyadari kecantikan kakak waktu itu ?“ celoteh Nadia.

Bunga tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa kecil mendengar kicauan tanpa henti dari Nadia itu.

“Kakak sadar koq kalau kakak cantik” kata Bunga tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih.

“Lalu kenapa kakak selalu menjauh dari semua orang dan hanya bisa diam-diam saja tertarik sama kak Bima itu ?” tanya Nadia lagi.

Bunga terdiam sejenak mendengar pertanyaan itu. Perlahan ia mengambil nafas dalam-dalam seakan-akan begitu berat beban yang ada di dadanya saat itu. 

“Itulah yang kakak akan ceritakan hari ini, kamu harus mengambil hikmah dari semua cerita ini oke” kata Bunga dengan perlahan. Wajah cantiknya berubah menjadi sedikit sendu saat mengucapkan kata-kata itu.

Nadia mengatupkan bibirnya siap mendengarkan kisah Bunga di masa SMA nya dulu. Perlahan-lahan untain kata dan cerita yang keluar dari mulut Bunga seakan membawa Nadia kepada masa lalu Bunga. Dan inilah kisah yang diceritakan Bunga kepada Nadia.






14 Januari 1987

“Loh koq kamu kemari ?” tanya wanita separuh baya itu saat membukakan pintu untuk Bima.

“Iya tante, ada janji tugas lagi bareng Bunga” kata Bima tersenyum menjawab pertanyaan mama Bunga.

Suara klakson mobil tiba-tiba terdengar dua kali dari sebuah mobil yang menepi di depan rumah itu.

“Oh gitu, ya sudah, tante sudah dijemput om, harus keluar dulu nih nak Bima” kata mama Bunga sambil buru-buru mengambil tasnya. “Di dalam ada Arya koq, tante jalan dulu yah”

“Oke tante” kata Bima sambil melihat kepergian mama Bunga dengan lega, ia sangat berharap mama Bunga tidak mencium bau alkohol di mulutnya tadi.

“Ada tugas lagi Bim ?” tanya Arya, kakak Bunga, melihat Bima menutup pintu depan.

“Iya bro” kata Bima melangkah masuk sambil berusaha sedikit mungkin membuka mulutnya.

Arya dan Bima sebelumnya seangkatan, tetapi sempat migrasi ke Klaten bersama keluarga, Bima tertinggal kelas dan menjadi seangkatan dengan Bunga.

“Naik aja, dia di atas tuh” kata Arya, “bentar lagi gue basket, jangan cari gue pas mau pulang nanti yah”

“Oke deh” Kata Bima lalu menghilang ke balik lorong tangga.

Dengan bersemangat Bima mengetuk pintu kamar Bunga. Sebenarnya sudah sejak lama Bima penasaran dengan gadis cantik tetapi penyendiri ini. Dari balik rambutnya yang selalu ia biarkan menghalangi wajahnya, Bima bisa melihat betapa cantiknya Bunga sebenarnya, bahkan saat Bunga membiarkan keindahan matanya ditutupi oleh kacamata tebalnya yang sangat tidak trendi itu. 

“Bunga…” panggil Bima dari balik pintu kamar itu.

Perlahan Bima mendorong pintu itu yang ternyata tidak tertutup.

“Bunga… ?” Bima melonggokkan wajahnya ke dalam kamar itu.

“Jiah, dia tidur” kata Bima melihat sesosok tubuh mungil terbaring di atas kasur terbalutkan selimut.

“Hei bangun…, kita ada janji tugas…, lupa yah ?” kata Bima sambil mengoyang-goyangkan jempol kaki Bunga.

Bunga tidak bereaksi sama sekali. Bima mencoba menggoyang-goyangkan kakinya lebih keras, tetapi tidak bereaksi juga.
Dari bawah ruangan terdengar suara motor menjauh keluar meninggalkan rumah itu. Pasti Arya sudah pergi untuk main basket pikir Bima. Hanya tinggal mereka berdua saja di rumah sepi ini sekarang.

“Bunga….” panggil Bima sambil duduk di samping kasur itu dan mengoyang-goyangkan bahu Bunga yang terdengar mendengkur halus itu.

Bima menggelengkan kepalanya perlahan saat ada rasa pusing di kepalanya. Pengalaman pertamanya minum Black Label walaupun hanya seteguk kecil membuatnya merasa tidak tenang sama sekali.

Perlahan ia menatap wajah Bunga yang tertidur dengan nyenyak, ada rasa suka yang sangat di dalam dirinya melihat wajah cantik polos itu. Ia mengigit bibirnya perlahan lalu nekat dengan cepat mencium bibir Bunga.

Tidak ada reaksi apa-apa. Bunga benar-benar terlelap nyenyak.
Entah mengapa Bima merasakan jantungnya berdebar-debar, lalu perlahan kembali mendekati wajah Bunga dan dengan lembut digulumnya bibir mungil itu.

“ehm…mmm..” Bunga mengerakan tubuhnya yang tadinya miring ke samping menjadi terlentang dan membuat selimut yang tadinya menutupi tubuhnya tersibak ke samping.

Bima meneguk ludahnya saat merasakan bau alkohol naik dari lambungnya. Ini pertama kalinya ia melihat Bunga menggunakan celana pendek yang sangat longgar sekali. Ia menatapi kaki kecil mulus itu dengan penuh perasaan bergolak. Ada rasa keinginan nekat yang selama ini tidak pernah muncul dalam dirinya, entah mengapa hari ini begitu menguasai diri Bima.

“Bunga… katanya mau bikin tugas !” kata Bima sambil perlahan mengoyang-goyangkan paha mulus Bunga.
Tetapi Bunga hanya bergumam tidak jelas dan tidak lama kemudian suara dengkuran halus kembali terdengar dari wajahnya. 
Bima meneguk ludahnya kembali, merasakan tangannya masih berada di atas paha mulus Bunga yang masih tertidur. 
Perlahan ia menggerakan tangannya mengelus-elus paha mulus itu.

Damn, dia pura-pura tidur atau benaran tidur yah ? pikir Bima dalam hati sambil matanya menjelajahi seluruh tubuh Bunga.

Bima semakin berani mengelus-elus paha kecil mulus itu mendaki naik menuju celena pendek Bunga. Dengan mudah jari jemarinya menyelip ke balik celana yang memang longgar itu. Bima mengigit bibirnya merasakan jemarinya menelurusi garis selangkangan Bunga. Dengan mudah ia menyingkapkan celana pendek itu keatas dan memandang bagian celana dalam Bunga yang berwarna putih.

Akhh.. kenapa aku nekat sekali yah.., pikir Bima dengan jantung berdebar-debar. Ia mulai mengambil posisi menaiki kasur dimana Bunga masih mendengkur perlahan itu dan mulai mengelus-elus belahan vagina Bunga dengan telunjuknya.

Tubuh Bunga hanya bereaksi sedikit saat merasakan telunjuk Bima perlahan menyelip ke dalam celana dalam Bunga. Bima merasakan kemaluannya begitu mengeras saat merasakan bulu-bulu halus di kulit selangkangan Bunga saat ini. Jemarinya mulai mengesek-gesek lembut belahan yang tertutup rapat itu.

Bima bergerak dengan gelisah melihat sesosok tubuh indah yang terbaring tanpa reaksi di hadapannya saat ini. Perlahan tangannya mulai meremas payudara Bunga. Bunga hanya melenguh dengan suara perlahan sambil bergerak sedikit tetapi tetap terlelap.

Dan akhirnya Bima tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, ia mulai menindih tubuh tak berdaya itu dan mulai mencumbui leher dan meremas-remas kedua payudaranya. Sudah lama sekali Bima berharap bisa mencium bibir lembut Bunga yang selama ini hanya bisa dianggan-anggankannya. Sekarang ia sibuk melumat dan menikmati bibir gadis manis tersebut, sementara tangannya sibuk membuka baju yang dipakai Bunga.

“Ough..” Bunga melenguh panjang saat Bima dengan kasar menarik branya lepas dari tubuhnya. Kedua bukit kecil bulat itu nampak berguncang-guncang saat penutupnya terlepas dari tubuhnya.

Kepala Bima sudah penuh dengan hawa nafsu melihat tubuh Bunga sudah nyaris telanjang. Dengan cepat ia menarik celana pendek beserta celana dalam Bunga lepas dari tubuhnya. Dan Bungapun telanjang tergolek tidak bedaya di hadapannya saat ini. Iblis yang menguasai kepala Bima saat ini membuatnya segera melepas semua pakaiannya sendiri. Bagai binatang kelaparan ia bergerak cepat sambil menatap dengan penuh keinginan untuk segera melahap mangsa yang terkapar di depannya saat ini.

Mata Bunga bergerak-gerak tetapi tidak dapat membuka saat merasakan tubuh telanjang Bima menindihnya dan melahap puting payudaranya dengan penuh nafsu. Bunga mengerang sambil menggerak-gerakkan kepalanya saat Bima dengan kasar membuka kedua pahanya lebar-lebar.

“Ahh.. cantik sekali kau Bunga” desah Bima sambil menggesek-gesekan tubuhnya di antara belahan selangkangan Bunga yang terbuka lebar tak berdaya.

“S..s..si.a…pa ? ja…jangan..” rintihan kecil keluar dari mulut Bunga saat merasakan tubuh Bima bergerak-gerak penuh birahi di atas tubuh telanjangnya.

Entah mengapa mendengar suara rintihan lembut Bunga makin membuat Bima bergairah, ia melahap bibir mungil itu kembali sambil meremas-remas kedua payudara mungil itu.

Dengan sekuat tenaga akhirnya Bunga membuka sedikit matanya, samar-samar ia melihat wajah Bima di atas wajahnya, tetapi ia merasakan tubuhnya begitu lemas tidak dapat bergerak-gerak.

“Bim… Bima… kenapa disini ?” tanya Bunga dengan lemas.

“Auhh…!” Bunga merintih keras saat merasakan penis Bima berusaha melesak memasuki vaginanya. 

Dengan nafas menggebu-gebu Bima berusaha menekan penisnya ke liang vagina Bunga yang kecil itu. Nafas Bima mendengus-dengus merasakan sulitnya menembus lubang yang masih perawan itu. Cairan pelumas yang sudah mengalir di penisnya tidak mampu membantu mendesak memasuki lubang sempit itu.

“Jangan.. Bima…jangan… !” rintihan Bunga seakan tanpa kekuatan sama sekali saat ini.

Ia kembali menjerit saat merasakan mulut Bima tiba-tiba melahap vaginanya. Bima dengan penuh nafsu menjilat bibir kemaluan Bunga sambil tangannya menjaga kedua paha Bunga tetap terbuka lebar. Ia membasahi dinding kemaluan Bunga yang kering dengan jilatan-jilatan lidahnya. Pantat mungil Bunga berguncang-guncang saat wajah Bima semakin terbenam di selangkangannya dan terus menjilati kemaluannya itu supaya lebih basah dan licin.

Bima mengangkat wajahnya melihat ke tubuh Bunga yang sudah tak berdaya dengan kedua paha terbuka lebar. Ia menggesek-gesek liang vagina yang sudah basah oleh serangannya itu. Perlahan ia meletakkan kembali kepala penisnya di antara belahan vagina itu.

“Akhhhh…….sakitt…. sakitt… Bim…” rintih Bunga saat kepala penis Bima dengan kerasnya mulai melesak masuk membelah bibir vagina Bunga.
Bunga meronta dan berusaha mengangkat tubuhnya yang lemas. Tetapi dengan cepat Bima segera mencengkram kedua tangannya dan merebahkannya kembali ke kasur.

“Sedikit lagi yah… sebentar lagi semua selesai …akhh…” bisik Bima perlahan saat merasakan akhirnya penisnya mulai memasuki liang keperawanan Bunga.

“ahhh… sakit…sakit banget…Bimaaa… kamu jahaat…lepasin aku…j..jangan.. j…jangan..!” Bunga merintih-rintih saat Bima mulai memaksakan memompakan penisnya keluar masuk lubang kemaluannya.

Perlahan matahari sore mulai menebar pesona cahaya keemasannya bergerak memasuki jendela kamar itu. Seakan sinarnya menjadi saksi dari bayangan manusia yang sedang menyalurkan hasrat birahi iblisnya itu. Dinding kamar itu menjadi gambaran cerita kepedihan saat bayangan Bima yang memantul disana bergerak-gerak terus naik turun di atas bayangan tubuh Bunga yang berusaha meronta-ronta tanpa daya.


………
………….
……………

Perlahan Bima membuka matanya sementara tangannya bergerak-gerak berusaha menemukan pakaiannya. Rasa pusingnya mulai menghilang, setelah entah berapa lama dia tertidur.
Dan tatapannya bertemu dengan dua bola mata bulat besar yang menatapnya dengan penuh kemarahan.
Bunga duduk dengan lemas di atas kasur sambil berbalutkan selimut.

“Keluar….” 

Bima meneguk ludahnya mendengar suara Bunga yang begitu datar tanpa perasaan sambil menatap wajahnya dengan kemarahan.

“Bunga, maaf aku kelewatan tadi, aku akan tanggung jawab. Aku sayang kamu” kata Bima sambil mencoba meraih tangan Bunga.
Tetapi Bunga menepis tangan Bima.

“Keluar sekarang !“ seru Bunga dengan nada lebih tinggi.

“Aku…, aku cinta kamu Bunga“ nada suara Bima sudah nyaris memohon saat ini.

Keluar !” jerit Bunga dengan keras.

“Oke.., oke.., aku keluar“ Bima segera meraih pakaiannya dan membungkus tubuhnya perlahan sambil menunduk penuh rasa bersalah.

“Aku akan hubungi kamu nanti yah Bunga, maafkan aku” kata Bima sambil memakai jeansnya. Rasa bersalah kini menghantui dirinya melihat ada bercakan kecil darah di selimut yang membalut Bunga. Dengan lunglai Bima membuka pintu kamar itu.

“Kau baru saja melakukan sesuatu yang akan kau sesali seumur hidupmu” kata Bunga sambil menolehkan wajahnya melihat Bima yang cuma bisa tertunduk dan berjalan keluar kamar itu.






17 Januari 1987


Bunga menatap ke taman seberang rumahnya melalui jendela kamarnya. Sore itu hujan deras kembali menguyur. Hati Bunga bergetar melihat sesosok tubuh di tengah kegelapan taman, berdiri di tengah hujan sambil menatap ke arah jendela kamarnya.

Sudah 3 hari sejak kejadian sore itu, Bunga tidak bersekolah. Dan selama tiga hari itu Bima terus menerus menantinya di depan taman, bahkan setiap sore hujan terus menguyur tubuhnya dan dia tidak beranjak sampai malam tiba.

Bunga sudah memutuskan diri untuk menghindar dari Bima selama 3 hari ini. Semua upaya Bima untuk bertemu dan menyampaikan pesan pun kandas.
Tetapi sore itu Bunga memutuskan untuk turun menemui Bima. Pintu rumah itu terbuka dan Bunga melangkah keluar menggunakan payung merah besar. Dia berjalan perlahan menuju taman tempat Bima berdiri kehujanan.

“Bunga…” panggil Bima lirih saat melihat Bunga menghampirinya dengan tatapan yang tidak bisa ia lukiskan sama sekali. Rasa cintanya terhadap Bunga menjadi semakin besar sejak ia menyetubuhinya sore itu. Entah mengapa ia merasakan Bunga adalah bagian dari hidupnya dan ia ingin bersama gadis mungil di hadapannya ini untuk selamanya.

“Aku akan menikahimu Bunga, aku sayang banget sama kamu” kata Bima lirih saat melihat Bunga hanya diam berdiri di bawah payungnya menatap sayu ke arahnya.

Dada Bima seakan dipukul berat, saat melihat Bunga menggelengkan kepalanya perlahan dan air mata mengalir perlahan dari kedua bola matanya.

“Kenapa Bim ? Kenapa kamu jahat begitu ?“ tangan Bunga bergetar memegangi payungnya.

“Aku tidak tahu, aku mabok dan aku pikir kamu mengijinkannya” kata Bima sambil menghapus air hujan yang terus menerus membasahi wajahnya.

“Tapi, aku sayang kamu Bunga, aku pasti tanggung jawab, kita menikah saja” kata Bima dengan berhati-hati bergerak satu langkah mendekati Bunga.

Dan dia cuma bisa tersenyum kecut saat melihat Bunga mundur satu langkah dan menatapnya dengan pandangan marah. Dada Bunga nampak naik turun dengan cepat seakan berusaha mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Mulutnya bergerak seakan-akan hendak mengatakan sesuatu tetapi kembali tertutup dan nafasnya kembali seakan memburu.

Akhirnya Bunga bisa menguasai dirinya, ia bernafas dengan perlahan, dadanya tetap naik turun dengan gelisah, dan iapun berkata-kata,

Aku HIV positif

Suara gemuruh petir tiba-tiba menggelegar mengiringi kata-kata Bunga tersebut. Rasa kaku seakan menyelimuti tubuh Bima yang berdiri tidak bergerak selama beberapa saat ditengah gemuruh petir yang menembaki langit mendung itu.

“Kamu cuma becanda kan ?” tanya Bima sambil meneguk ludahnya.

Bunga menggelengkan kepalanya perlahan sambil menghapus air mata yang kembali turun dari matanya.

“Tiga tahun lalu, akibat transfusi” katanya lirih sambil mengenggam payung itu dengan kedua tangannya. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Bima mendengar kata-katanya saat ini, ia hanya melihat beberapa kali mulut Bima bergerak-gerak tanpa kata-kata.

“Ini pasti cara kamu untuk membalas aku yah ?” kata Bima setelah berhasil mengendalikan dirinya. Dan ia merasakan kakinya begitu lemas saat melihat Bunga kembali hanya menggeleng. 

“Kamu bohong ! Aku tahu aku memang salah, tapi jangan bohongi aku seperti itu !“ seru Bima di tengah gemuruh suara petir sore itu.

Tangis Bunga akhirnya pecah mendengar bentakan dari Bima, ia berusaha menahan payung besarnya sementara tubuhnya terisak-isak di antara derai air matanya.

“Bohong !” seru Bima lagi lalu ia berlari meninggalkan taman itu diiringi dengan cipratan air di antara langkah-langkah kakinya, meninggalkan Bunga yang menangis sendirian di taman itu.

7 hari kemudian…

Bunga menatap sayu sepasang muda mudi yang lewat di hadapannya sambil tertawa-tawa di atas sepeda yang mereka kendarai.
Ia membalas senyuman dari si perempuan yang kembali mengayuhkan sepedanya menyusul pasangannya itu.

Ia menarik nafas dan memperbaiki duduknya yang merosot di atas bangku taman itu. Buku yang dipegangnya rasanya tidak berpindah-pindah halaman akibat keasikannya mengamati segala aktivitas di taman itu. 
Sudah 3 hari ini di sekolah ia tidak menemukan Bima. Padahal Bunga sudah mempersiapkan diri baik-baik jika harus bertemu Bima. Tetapi sosok tinggi pemain basket sekolah itu tidak kelihatan sama sekali.

Tiba-tiba sebuah burung origami kertas jatuh di antara buku Bunga yang terbuka. Bunga mengambil burung kertas itu sambil menatap ke arah Bima yang nampak tersenyum kaku di belakangnya.

“Hai” sapanya perlahan.

“Hai” balas Bunga sambil merapihkan duduknya di bangku taman itu.

Dengan lunglai Bima berjalan perlahan dan duduk di samping Bunga. Bunga sedikit bergeser untuk memberikan tempat kepadanya. Ada sedikit rasa canggung dalam diri Bunga bersebelahan dengan Bima saat ini.

“Burung keempat yah ? thank you“ kata Bunga sambil tersenyum kecil menggoyangkan burung kertas itu di tangannya.

Bima cuma tersenyum kecil, burung kertas itu adalah caranya pertama kali untuk menarik perhatian Bunga yang selalu ia lihat duduk di bangku taman ini beberapa bulan lalu. Dan sampai saat ini ia masih membuatkan origami itu setiap ada kesempatan untuk Bunga.

“Masih marah ?” tanya Bima perlahan.

Bunga menarik nafasnya seakan berusaha mencari jawaban dari pertanyaan itu di dalam lubuk hatinya. Dan akhirnya ia cuma menggeleng.

“Kamu kemana saja tidak ada di sekolah ?” tanya Bunga perlahan.

“Aku takut kamu pasti tidak nyaman kalau ketemu aku di sekolah, jadi lebih baik aku bolos dulu. Sambil memikirkan apa yang kamu katakan terakhir itu” kata Bima merapatkan jaketnya sambil menatap di kejauhan.

Bunga menahan supaya tangannya tidak gemetar, ia tahu saatnya akan tiba baginya untuk menjelaskan semua kata-katanya sore itu kepada Bima dan dia menemukan bahwa semuanya itu tidak mudah.

“Kapan kamu terkena HIV ?” tanya Bima perlahan.

“Jadi kamu percaya aku HIV ?” balas Bunga sambil menatap Bima.

Bima membalas tatapan itu, ia mengigit bibirnya perlahan menatap gadis yang sangat ia cintai itu. Lalu berkata, “Aku kenal kamu, kamu tidak akan bohong” 

Bunga tertunduk sebentar lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya ia menceritakan masa lalunya yang kelam saat kecelakaan dan mendapatkan donor darah yang bermasalah. Darah yang mengandung HIV. Sambil bercerita Bunga menatap jari jemari Bima yang terus menerus digosokan satu sama lainnya dengan gelisah.

“Jadi sekarang aku bakalan kena HIV juga ?“ tanya Bima setelah terdiam sesaat mendengar cerita Bunga.

“Belum tentu juga, walaupun resikonya ada. Kamu harus test” jawab Bunga

“Test sekarang ? secepatnya gitu ?” tanya Bima.

“Belum bisa dideteksi kalau masih fase jendela, perlu waktu 3 minggu sampai 6 bulan biasanya baru akan ketahuan” jawab Bunga.

Bima mengatupkan mulutnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya terus meremas-remas jari jemarinya.

“Kenapa kamu tidak berusaha mencengah aku ?“ tanya Bima dengan tatapan yang membuat Bunga merasakan wajahnya tiba-tiba memanas.

“Loh kamu yang perkosa aku ! Seharusnya aku yang marah. Kenapa kamu datang waktu itu ke kamar aku !” kata Bunga dengan nada suara yang tiba-tiba meninggi.

“Masa kamu nggak sadar lagi digituin ? Apa kamu sengaja membiarkan semua itu ?” balas Bima dengan nada tinggi juga.

“Aku minum valium ! Aku minum valium...! ! Kenapa kamu datang dan perkosa aku waktu itu, aku tidak bisa bangun kalau habis minum valium” Bunga tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memukul-mukul bahu Bima saat mengatakan itu dengan nada melengking.

Bima berusaha mengatur nafasnya yang sudah memburu di tengah percakapan yang penuh emosi ini. Perlahan ia melihat sekeliling dan bersyukur rasanya tidak ada yang mendengarkan apa yang dijeritkan oleh Bunga yang saat ini sudah berurai air mata kembali.

“Sorry…” kata Bima perlahan.

“Kamu tidak tahu rasanya punya penyakit ini, aku terkadang perlu valium supaya tidak gelisah…, aku perlu merasa tenang, supaya aku bisa tidur” kata Bunga sambil menangis.

Bima hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam dan terdiam, tangannya masih sibuk meremas-remas jemarinya dengan gelisah.

“Berarti memang semuanya salahku, maafkan aku” kata Bima dengan perlahan. Ia mengatupkan mulutnya dengan tangannya sambil menatap Bunga yang menangis.

“Apakah yang harus aku lakukan sekarang ?” Bima berusaha menahan suaranya supaya tidak terdengar getir tetapi yang muncul malah suara seperti akan menangis.

“Kamu harus cek darah beberapa minggu lagi, kalau negative cek lagi sebulan kemudian, sampai yakin kamu tidak tertular” kata Bunga perlahan.

Bima tampak bergerak-gerak gelisah, ia berdiri dan memasukkan tangannya ke dalam jaketnya sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku tidak bisa begini, aku tidak boleh sampai kena penyakit ini” Bima berkata sambil perlahan melangkah menjauhi bangku tempat Bunga duduk itu.

“Bima ! Bima !” 

Seruan Bunga seakan tidak terdengar oleh telinga Bima yang berjalan terus sambil menunduk. Kakinya melangkah menjauhi bangku taman itu dan menjejak di antara dedaunan yang berguguran di taman itu. Dia berjalan meninggalkan Bunga yang hanya bisa duduk menatapi kepergiannya yang semakin jauh dan akhirnya menghilang dari pandangan.



14 Agustus 1992

5 tahun berlalu sejak terakhir Bima pergi dari taman itu, Bunga tidak pernah melihatnya lagi. Menurut informasi dari kakaknya, Bima pergi keluar kota, entah kemana, keluarganya tidak memberikan informasi yang jelas. Bungapun memutuskan untuk move on dan berusaha melupakan semua kejadian. 
Sore itu ia melangkah dengan ceria, tidak pernah bosan rasanya ia melalui taman ini. Mengerjakan tugas-tugas kuliah baginya akan terasa menyenangkan jika duduk di bangku taman kesukaannya itu. 

Seperti biasa, bangkunya kosong, seakan-akan semua orang yang di tempat ini sudah mengerti bahwa bangku itu adalah kepunyaannya dan tidak ada yang boleh menduduki bangku itu.

Tiba di bangku itu, Bunga merasakan tubuhnya bergetar, ada rasa lemas mengalir dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Tangannya yang memegang buku serasa kelu dan lemas saat melihat sebuah burung kertas berwarna orange terletak miring di atas bangku taman itu.

“Bim.., Bima ?” Bunga berseru lirih sambil melihat sekelilingnya.

“Bima !“ seru Bunga lebih keras lagi saat melihat sekelilingnya kosong tidak ada orang. Ia memutar-mutar tubuhnya mencari Bima.

Dan ia merasakan jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat sesosok tubuh berjalan di kejauhan menghampiri dirinya.

“Hai“ seru sosok itu sambil melambai-lambai dari kejauhan.

Bunga merasakan ada tetes air mata yang hampir jatuh melihat sosok itu semakin dekat semakin jelas. Dan sosok itu adalah Bima yang berjalan perlahan menghampirinya dengan senyum kikuk. 

Oh Tuhan dia tampak kurus sekali, seru Bunga dalam hati. Tubuh Bima dibalut jaket hitam, dia berjalan sambil tampak kedinginan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung jaketnya.

“Bunga, apa kabar ?” kata Bima sambil tersenyum saat berhenti tepat di depan Bunga yang seakan masih tidak percaya melihat dirinya saat ini.

“Bima…” Bunga berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis dan memeluk Bima saat ini. Dia sungguh tidak menyangka setelah 5 tahun ini akhirnya bisa bertemu dengan Bima kembali.

“Aku tadi beli minum sebentar, aku juga tidak menyangka kamu masih rutin ke bangku ini” katanya sambil tersenyum dan perlahan meraih tangan Bunga untuk duduk di bangku itu.

Bunga perlahan duduk sambil tersenyum lembut ia menepuk bahu tangan Bima. Bima terlihat berbeda, wajahnya nampak lebih kurus dan rambutnya tidak ikal seperti biasanya. Dia lebih rapih memakai kemeja yang terlihat dari balik jaketnya.

“Perkenalkan aku Bima, aku ODHA” katanya sambil mengulurkan tangannya kepada Bunga.
* catatan TS : ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)

Bunga hanya bisa menatap kaku tangan yang terulur ke arahnya itu. Air matanya tidak bisa terbendung lagi mendengar kata-kata Bima itu. 

“Hei.. hei.. bukan salahmu koq” kata Bima melihat Bunga mulai menangis. 
Dia meraih bahu Bunga yang bergetar hebat itu. Perlahan Bunga menjatuhkan kepalanya di bahu Bima sambil menangis tersendu-sendu.

Bima tersenyum, ia meraih kepala Bunga dan mengelus lembut rambutnya. Ada getaran dalam dirinya yang belum hilang saat dia bersama gadis ini. Ah ternyata aku masih sangat mencintainya, pikir Bima dalam hati.

Seakan mengerti isi hati kedua insan tersebut, cuaca yang tadinya sedikit mendung perlahan mulai berubah. Sinar matahari perlahan mulai menampakan kilaunya menembus awan hitam dan menyinari bangku tempat mereka bedua bercakap-cakap dan menceritakan waktu yang berlalu begitu lamanya. Bima sekarang tinggal tidak jauh dari kota itu, butuh waktu 1 jam untuk sampai taman ini. Dia sudah rutin minum ARV obat untuk penderita AIDS. Banyak kondisi tubuhnya yang sudah mulai melemah seperti paru-paru dan ginjalnya. Dia mudah kedinginan dan tidak tahan angin, itulah mengapa Bima selalu menggunakan jaket tebal kemana-mana.
Keluarganya juga mulai belajar menerima kondisi dan penyakitnya.

“Kamu bilang tertular dari aku ?” tanya Bunga.

Bima menggelengkan kepalanya. “Aku bilang aku main perempuan, jadi tertular dari sana” katanya perlahan.

Bunga mengatupkan mulutnya mendengar Bima melindungi namanya di depan keluarganya. Ada rasa bangga melihat Bima seperti sekarang, walaupun kondisi fisiknya lebih buruk, tetapi Bunga melihat bagaimana HIV ini membentuk kepribadiannya menjadi lebih dewasa. Perlahan ia menyandarkan kepalanya ke bahu Bima sambil melanjutkan obrolan mereka. 

Obrolan kangen itu melahirkan keputusan mereka untuk rutin bertemu setiap bulan tanggal 14 seperti hari ini di bangku taman ini, untuk saling bercerita kondisi mereka dan saling menguatkan satu sama lain.

“Oke sampai ketemu bulan depan yah” kata Bima.

“Oke, senang banget ketemu kamu Bim. Kamu nggak jalan ?” tanya Bunga melihat Bima hanya terduduk saja di bangku itu sambil merapatkan jaketnya.

“Kamu jalan duluan deh, terakhir pertemuan kita kan aku yang pergi duluan. Sekarang biar aku yang lihat kamu pergi” kata Bima sambil tersenyum.

Bunga tertawa kecil mendengar itu dan sambil melambai ia pergi perlahan meninggalkan taman itu diiringi dengan tatapan mata Bima. Bima meringkukkan badannya dengan mimik menahan sakit. Salah satu alasan dia membiarkan Bunga jalan terlebih dahulu ialah, dia tidak ingin Bunga melihatnya kesakitan. Butuh waktu beberapa saat bagi Bima sampai akhirnya ia bisa berdiri dan beranjak perlahan meninggalkan bangku taman itu.

Dan mereka menepati janji mereka untuk saling bertemu setiap bulannya tanggal 14 di tempat yang sama, bangku taman ini. Bunga menjadi kuatir karena melihat kondisi Bima yang semakin menurun setiap kali mereka bertemu. Dan di hari itu, 14 Januari 1993, Bima tampak semakin kurus dan tidak banyak bicara. Ini pertemuan mereka yang ke 6 sejak pertama kali bertemu kembali di sana.

“Bunga, sebenarnya ada hal yang hendak aku sampaikan ke kamu” kata Bima dengan perlahan.

Bunga menatapnya lalu berkata, “Apa itu Bim ?” 

Tin… Tiiin… !, suara klakson mobil tiba-tiba berbunyi.

“Itu cowok aku…” kata Bunga perlahan.

“Oh…, kamu sudah ada cowok yah ?” tanya Bima.

“Iya temen di LSM juga” jawab Bunga.

“Ouh gitu.., apakah dia ODHA ?” tanya Bima.

Bunga cuma menggeleng sambil tersenyum. “Tadi kamu mau bilang apa Bim ?” tanyanya melanjutkan.

Tiiin.. Tiiiin.. ! suara klakson itu kembali berbunyi.

“Next time aja Bunga, kita masih bisa cerita bulan depan. Kamu ditunggu tuh, buru-buru yah ?” kata Bima.

“Iya, sorry banget, aku lupa kasih tahu kamu” kata Bunga dengan wajah bersalah.

“It’s OK, sampai next month yah” kata Bima tersenyum.

Bunga membalas senyum itu dengan perasaan tidak enak sambil perlahan melangkah menuju mobil itu. Sebelum masuk, ia menyempatkan diri melambai ke Bima kembali yang membalasnya dengan senyuman.


Satu bulan kemudian...

14 Februari 1993


Bunga melangkah dengan cepat, dia sudah terlambat setengah jam dari janji dia biasa bertemu dengan Bima. Bunga tidak ingin Bima menunggu terlalu lama karena dia tahu Bima cukup sulit dengan angin yang dingin dan cuaca hari ini sedikit mendung.
Rasa kuatir menghinggapi Bunga saat dia menemukan bangku taman itu kosong tanpa ada Bima.

Jangan-jangan dia pergi karena terlalu lama menungguku, pikir Bunga dalam hati. Perlahan dia duduk di atas bangku kosong itu.

“Kak Bunga yah ?” tiba-tiba suara anak kecil terdengar di hadapannya.

“Eh iya, kamu siapa ?” tanya Bunga sambil melihat seorang anak kecil berumur sekitar 12 tahunan yang sedang berdiri di hadapannya.

“Tio disuruh kak Bima antar surat ini ke kakak” katanya sambil memberikan sebuah burung kertas berwarna putih.

“Eh kak Bima memang kemana ?” tanya Bunga dengan rasa kuatir.

Tio tidak menjawab dan langsung berlari masuk ke mobil yang sudah menunggunya di pinggir jalan, pergi meninggalkan Bunga yang terheran-heran.

Perlahan ia melihat burung kertas origami yang di tangannya lalu membuka lipatan demi lipatan itu dan menemukan sebuah surat di dalamnya.



Hi Bunga.

Maaf hari ini aku tidak bisa datang bertemu kamu.
Surat ini aku tulis karena kondisi tubuhku semakin lemah.
Tetapi aku tidak mau menceritakan hal itu dalam surat ini.
Karena bagi aku surat ini harus mewakili pertemuan rutin kita.
Banyak hal yang harusnya aku katakan tetapi aku tidak berani selama ini.
Bunga…., maafkan aku karena sudah menyakiti kamu 6 tahun lalu.
Sungguh maksud hatiku yang paling dalam adalah mencintaimu,
tetapi rupanya nasib tidak membawa kita menjadi satu.
Bagaimanapun aku menikmati kebersamaan kita bulan-bulan terakhir ini.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari akhir hidupku.

Aku tidak bisa menulis banyak, karena jempolku sering sakit.
Biar aku menulis hal-hal yang penting saja.
Dan penting bagi aku untuk mengatakan padamu : Aku cinta kamu
Tidak peduli kondisi aku dan kamu saat ini, aku akan mencintaimu selamanya.

Oh iya, aku sekarang mengerti kenapa kamu memilih bangku ini. Bulan lalu saat aku pulang aku baru sadar kalau ini adalah bangku nomor 14 dari ujung pintu taman. Angka 14 kan angka ulang tahunmu. Juga angka yang sebenarnya aku berharap bisa bertemu dengan kamu hari ini, yaitu 14 Februari.
Tetapi maaf aku tidak bisa hadir di sana. Aku harus pulang lebih dahulu.
Aku juga tidak bisa membuatkan kamu lagi origami ini.

Janji yah kamu harus tetap kuat, bersemangat dan ceria seperti Bungaku yang selalu aku sayangi.
Jangan cari dimana aku diistirahatkan, aku tidak ingin melihat kamu menangisi aku. Karena Bungaku harus jadi Bunga yang selalu ceria.

Sampai jumpa lagi suatu saat nanti,

Always love you,
Bima




14 Februari 2015


Wajah Nadia berderai air mata mendengarkan cerita Bunga yang menutup kisahnya bersama Bima dengan surat terakhir itu.

“Kakak, sedih sekali yah jalan hidup kakak” kata Nadia sambil menghapus air matanya.

“Eh koq kamu duduknya semakin jauh ?” tanya Bunga melihat Nadia yang duduknya sudah sampai ujung bangku. “Kamu takut karena kakak HIV ?” tanya Bunga sambil mengangkat alisnya perlahan.

“Ah nggak koq kak, maaf” kata Nadia merasa tidak enak. “Trus kakak sekarang jadian sama kakak yang di LSM itu ?” tanya Nadia mengalihkan pembicaraan.

Bunga hanya menarik nafas panjang dan menggeleng. 

“Kenapa tidak kak ?” tanya Nadia penasaran.

“Dia akhirnya menyadari juga sulitnya punya pasangan yang HIV. Ada pertimbangan mengenai anak dan masa depan. Kakak harus merelakan dia karena dia masih punya banyak cita-cita” kata Bunga dengan perlahan.

Wajah Nadia tampak semakin muram mendengar cerita Bunga itu.

“Kasihan kakakku, apa yang Nadia bisa lakukan buat kakak ?” tanya Nadia dengan wajah berkaca-kaca.

“Sebuah pelukan hangat mungkin ?” senyum Bunga.

Nadia tersenyum sambil menghapus air mata, tubuhnya bergerak hendak memeluk Bunga, saat tiba-tiba…

Tiin.. .Tiiin.. !

Suara klakson mobil membatalkan niatnya memeluk Bunga. Segera Nadia berdiri dengan ceria.

“Kak aku sudah dijemput” katanya merapihkan tasnya.

“Oh…, sama cowok kamu ?” tanya Bunga.

“Iya hari ini kan valentine” kata Nadia bersemangat.

“Oh gitu” kata Bunga dengan nada datar, tangannya tampak seperti menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

Nadia sedikit terheran melihat tangan Bunga itu, tetapi dia cuma tersenyum sambil melambai pergi dan naik ke dalam mobil tersebut.
Bunga hanya tersenyum kecut membalas lambaian Nadia.

Dengan gemetar, Bunga mengeluarkan tangannya yang disembunyikan di balik punggungnya itu. Suara gemuruh petir memantulkan kilatan cahaya pada jarum suntik yang dipegangnya dengan tangan bergetar. Perlahan ia memasukkan kembali suntikan dengan noda darah itu ke dalam tasnya itu.
Wajah Bunga nampak masam sambil menatap kejauhan dia meremas-remas kedua tangannya. Tatapan matanya seakan penuh amarah. Langit dan bumipun tidak dapat menerka apa yang ada di hatinya saat ini.

“Hai kak Bunga”

Tiba-tiba seorang gadis belia datang dan menyapa Bunga yang sedang sendirian itu.

“Hai.. Desi, apa kabar ?” wajah Bunga berubah menjadi ceria saat melihat kedatangan Desi.

“Kak, Desi mau dengar lanjutan cerita kakak kemarin itu” kata gadis belia itu sambil duduk di samping Bunga.

“Memangnya kamu tidak kemana-mana hari ini ?” tanya Bunga.

Desi menggelengkan kepalanya dan Bungapun tersenyum lebar mendengar jawaban itu.....



TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar

 

all in one Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates